Memperingati Hari Pahlawan 10 November

| Selasa, 10 November 2009
Bung Tomo
“Mungkin akan lain perjalanan cerita bangsa ini kalau seandainya tidak ada perlawanan arek-arek Suroboyo saat mengusir penjajah”. Sedikit lupa-lupa ingat saya, namun itulah kiranya yang terukir di prasasti Tugu Pahlawan. Memang pernyataan tersebut benar adanya. Saya akan mencoba membuka memoar perjuangan heroik arek-arek Suroboyo ini. Semoga Anda berkenan mengikuti artikel ini.
Rakyat Surabaya yang saat itu sedang menikmati kemerdekaan dan menjadi bagian dari NKRI untuk pertama kalinya mendapat ancaman serius dari Pasukan Sekutu yang membawa serta Pasukan Belanda. Arek-arek Suroboyo tidak terima akan perlakuan tersebut dan mengadakan perlawanan. Insiden Hotel Yamato dengan perobekan bendera Belanda dan diganti menjadi bendera merah-putih Indonesia, dan perlawanan di Gedung Bank Internatio yang menewaskan Jenderal Belanda, Mallaby merupakan bukti heroisme arek-arek Suroboyo. Hingga membuat Presiden Soekarno sendiri yang turun tangan untuk meredakan gejolak di Surabaya atas permintaan Pasukan Sekutu. Namun di Surabaya sendiri Presiden Soekarno pun terancam keselamatannya oleh tentara Gurkha yang mencoba untuk membunuhnya. Namun Bung Karno dapat selamat dan kembali ke Jakarta. Rakyat Surabaya kembali mendapat peringatan agar menyerahkan senjata yang mereka miliki dan apabila permintaan tersebut tidak dipenuhi maka Surabaya akan digempur dari darat, laut, dan udara. Seruan dari Jenderal Mansergh dari Sekutu tersebut tidak menyiutkan nyali arek-arek, bahkan mereka bersatu, baik pemimpin dan rakyat, yang saat itu Surabaya dipimpin oleh Gubernur Suryo. Sebagai perantara semangat arek-arek, Bung Tomo hadir sebagai orator yang menyuarakan dengan tegas dan lantang kepada arek-arek Suroboyo untuk siap bertempur melawan Sekutu. Hari 10 November itu pun tiba, dan jadilah Surabaya menjadi medan peperangan antara arek-arek yang bersenjatakan rampasan dari Pasukan Jepang dan bambu runcing melawan Pasukan Sekutu yang menyerang dengan tank, pesawat tempur, dan kapal perangnya mencoba memorak-morandakan Surabaya. Dan di titik ini, saya pun merenung betapa kuat dan berani mereka, berusaha untuk menjadi seseorang yang merdeka, tak peduli akan harta dan nyawa mereka, Merdeka atau Mati!......,. Bisa Anda bayangkan bagaimana jalannya pertempuran yang tidak seimbang tersebut dan banyaknya korban yang jatuh di pihak Surabaya. Akhirnya selama digempur selama sepekan, Rakyat Surabaya terpaksa menyerahkan kota mereka kepada Sekutu dan mereka yang selamat mengungsi secara besar-besaran ke luar kota. Walaupun kalah namun gema perjuangan arek-arek Suroboyo tersebut menyebar hingga ke daerah lain dan menimbulkan heroisme serupa. Atas perlawanan gigih rakyat Surabaya yang rela berkorban demi mempertahankan keutuhan NKRI, Presiden Soekarno menetapkan 10 November sebagai “Hari Pahlawan”. Monumen Tugu Pahlawan dan Bambu Runcing pun dibangun untuk mengenang jasa para bunga bangsa. Saya hanya berujar di dalam hati, terima kasih kepada Allah Yang Maha Kuasa atas kemerdekaan ini. Terima kasih kepada-Nya karena memberikan para pahlawan heroik di kota Surabaya. Tanpa pengorbanan mereka, Surabaya tidak akan menjadi seperti sekarang. “Jer Basuki Mawa Beya”, “Tidak akan ada keberhasilan tanpa pengorbanan”. Dirgahayu Hari Pahlawan 10 November. “Jasmerah!”, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”. Sekarang adalah giliran kita para generasi muda untuk tetap mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia!. Terima kasih telah membaca catatan kecil ini sebagai sekadar pengingat kembali memori akan perjuangan para pahlawan kita. Ayo Semangat!!

0 komentar:

Posting Komentar

For your effective comment, please choose Name/Url,,
Thanks before, Keep spirit!!